Friday, July 11, 2014

"Biarin aja ceritanya itu terus, daripada nggak punya cerita sama sekali."

― Salah seorang teman yang baru saja menelpon (dan ditelpon balik)
sebelum akhirnya terputus secara tiba-tiba
(karena gangguan sinyal, tentu saja).

Ironis bagaimana dia sepertinya mengerti betul tentang kebiasaan-kebiasaan gue, sedangkan gue sendiri...

(Yes, I'm just one of those apathetic bastards)

Monday, July 7, 2014

30 Hari

30 hari sudah cukup membuatmu mengerti

Setelah berpuluh-puluh, atau mungkin beratus-ratus repetisi yang telah dilakukan berulang kali
Kamu akhirnya datang pada suatu konklusi;

Bahwa kamu lelah
Bahwa kamu jenuh

Bahwa kamu bahkan tak dapat menemukan penyebab dari jenuh dan lelahmu itu sendiri
Sungguh adalah sebuah ironi

Bahwa memang benar kalau kamu sedang dilanda sepi
Bukankah hal itu sudah sering kamu alami?

Bahwa isi kepalamu semakin hari rasanya semakin tak karuan
Bagai hilang arah dan tujuan

Bahwa semua angan hanya tinggal kenangan
Bertolak jauh dari kenyataan yang ada di depan

Bahwa terkadang kamu bahkan berharap takkan pernah bangun lagi dari dalam mimpi
Terus-menerus tidur seperti orang mati

Bahwa apa yang kamu lakukan di masa lampau seakan cuma jadi ilusi yang berentetan
Kumpulan delusi yang berkepanjangan

Maka, ketika 30 hari sudah terlewati
Tak perlu lagi kamu menyiksa diri dengan mencoba memahami

Bahwa sang waktu yang terus berlalu tanpa ada rasa peduli memang amat menyakitkan hati
Bukankah hal itu sudah kamu ketahui dengan pasti?

Saturday, June 14, 2014

dies irae, dies illa

"Sedang apa kalian di sini?" tanya pemuda itu. "Mencuri ya?" 
Dula menatap Azmov, keringatnya mengucur deras. 
"Ayo mengaku saja. Kalian habis mencuri kan?" 
Azmov tidak menyahut, hanya berdiri memeluk barang-barang hasil jarahannya lekat di dada. 
"Jawab!" hardik si prajurit. "Atau kusandera kalian dan kupanggang di atas api dan kujadikan sate untuk makan malam." 
Dula melempar barang-barang bawaannya ke arah pemuda itu dan terbirit-birit keluar dari sana. Azmov masih terpaku di tempatnya berdiri. 
"Tidak mau menyusul temanmu?" 
Azmov menggeleng. 
"Siapa namamu? 
"Azmov." 
"Dimana orangtuamu?" 
Azmov tidak menjawab. 
"Ayahmu ada?" 
"Dia ikut perang." 
"Teman atau musuh?" 
"Aku tidak tahu." 
"Tinggalkan barang-barang itu." 
Azmov bergeming. Pemuda itu menatapnya dengan mata merah kurang tidur. "Kau tidak dengar apa kataku barusan?" 
"Siapa namamu?" tanya Azmov. 
"Eregaro." 
Mereka tidak berjabat tangan, hanya berdiri kikuk menatap satu sama lain. 
"Tampangmu seperti anak kuliahan." 
Pemuda itu, yang bernama Eregaro, menepuk dada dengan bangga. "Semester empat di Universitas Akomoya. Sebelum kampusku di bom jadi sampah." 
"Kau pintar?" 
"Yang terbaik di kelas." 
"Benarkah?" 
"Ya. Kau tidak takut senjata?" 
"Aku tidak takut mati." 
"Tinggalkan barang-barangmu di sini." 
Azmov menurut. 
"Sekarang pergilah." 
Dengan tangan kosong, Azmov membalikkan badan. Baru mengambil beberapa langkah, bocah itu membalikkan tubuhnya lagi. 
"Kau tahu markas El Sadik?" 
"Apa urusanmu dengan El Sadik?" 
"Aku hanya ingin titip pesan untuk Ayah." 
"Siapa namanya?" 
"Ledon." 
"Pesan apa yang ingin kau sampaikan?" 
Azmov berpikir sesaat, lalu― 
"Sampaikan padanya aku sudah bisa menjaga Ibu dan Zalem. Dia tidak perlu kembali." 
Pemuda itu tercenung. Azmov melanjutkan: "Sampaikan juga bahwa begitu perang usai aku akan cari kerja." 
"Dan bilang sama dia," kata Azmov. "Dia boleh mati kalau memang saatnya. Tidak apa. Kami mengerti.
"Berapa usiamu?" tanya Eregaro dengan mata terpicing. 
"Sepuluh tahun." 
"Kau bilang kau tidak takut mati?" 
"Tidak." 
"Benar?" 
Azmov mengangguk. Pemuda itu tertawa keras sekali hingga suaranya menggema di sekitar mereka. Kemudian tawa itu berubah jadi tangis sesenggukan. Azmov diam saja, takjub melihat seorang laki-laki dewasa terisak seperti anak perempuan. Tak lama, pemuda itu menghapus airmatanya sendiri. Hidungnya merah.
"Keluar." kata Eregaro. bergerak mendorong Azmov kearah pintu. 
Azmov berlari keluar. Udara dingin menyambutnya begitu ia melewati pintu utama. Dula segera menghampirinya. Sedari tadi ia menunggu tidak jauh dari sana. Mereka mengendap-endap melintasi jalan-jalan sepi, melewati bangkai kendaraan dan bangunan, sebelum tiba di ruang bawah tanah.

Maggie Tjojakin

Saturday, May 31, 2014

Feel it melts into your mouth.
Fulfilling your taster before it slowly merges with your entire saliva. You savor in bliss. Gradually appreciate the taste within your closing eyes. It's good, your lips form a smile. It's a very good taste. Your tongue keeps on moving. Looking for the taste that still remains inside your mouth. There's still something left upon your lips and your tongue just can't really stop. It's not until your lips all soaked when you finally realize that you haven't yet satisfied.

You want more.
Yes, you really want.

Thursday, May 8, 2014

Mungkin #2

Ada yang bilang jangan tentukan sesuatu hanya dari sampulnya.
Bahwa kita tidak boleh menghakimi orang lain hanya berdasar pada apa yang dilihat sekelebat mata, mungkin hal itu memang adalah suatu fakta.

Mungkin sesungguhnya, kamu cuma tahu penampakan luarnya saja.
Entah seberapa lama kamu mengenalnya, seberapa dekat hubungan kamu dengannya, atau seberapa sering kamu berbicara dengan orang tersebut.
Mungkin ternyata kamu tidak pernah tahu diri mereka yang sebenarnya.

Mungkin saja yang mereka lakukan adalah untuk mengecoh ketidaktahuan kamu yang merasa sudah sangat tahu.
Atau mungkin mereka hanya ingin supaya kamu tidak mengetahui apa yang telah mereka ketahui.
Karena sebagian cerita memang lebih baik tidak terungkap begitu saja.
Yah, namanya juga rahasia.

Mungkin juga karena mereka segan padamu.

Merasa bahwa kamu bukanlah yang paling dekat, bukan yang terbaik untuk diajak sekedar bercengkrama, berbicara tentang hal-hal yang amat sangat sepele maknanya.
Sampai kamu merasa tiada gunanya lagi jika kamu tetap berusaha mencerna setiap kata dan terus berada disana. Membuatmu ingin segera pergi meninggalkan mereka tanpa salam dan senyum ramah seperti biasa.

Mungkin apa yang telah kamu anggap berarti selama ini dianggap lain bagi mereka.
Mungkin saja mereka menganggap itu semua tidak ada artinya.

Tapi, hei. Mungkin juga sebaliknya.

Mungkin semua yang ada di dunia ini pun demikian.
Apa yang dikira benar, nyatanya adalah kesalahan.
Apa yang tadinya dipikir baik, tidak tahunya malah merupakan keburukan.
Apa yang sebelumnya dianggap nyata, sesungguhnya cuma khayalan.
Mungkin semuanya hanya sebagian kecil dari suatu hal yang sebelumnya justru tidak pernah terbayang oleh akal dan pikiran.

Tapi mungkin juga semua asumsi tadi itu adalah kekeliruan.

Yak, cukup.

Mungkin rangkaian kalimat yang tak berisi ini harus segera diakhiri.
Mungkin sudah waktunya kesepuluh jemari ini berhenti menari.
Mungkin otak ini harusnya lekas menyudahi renungan tentang sesuatu yang tidak pasti.
Tentang setumpuk dugaan yang tidak terbukti dan tentang berbagai kemungkinan yang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Tuh, kan. Mungkin lagi.
Yah...
Mungkin memang akan lebih baik jika diri ini segera terlelap ke alam mimpi.

Jadi, sampai bertemu kembali.

Wednesday, April 9, 2014

Ketika

Ketika saat itu datang menghampiri
Menakuti dengan detiknya yang terus berbunyi
Menghujami diri dengan tumpukan ragu yang semakin tak terperi

Ketika kemampuan seseorang yang sesungguhnya akan diuji
Seberapa lama ia bisa bertahan..
Seberapa sanggup dia balik melawan...
Atau malah akan berakhir dikalahkan?

Ketika kita sadar bahwa musuh yang paling kuat adalah diri sendiri
Bahwa hati dan pikiran yang saling bertolak belakang adalah sesuatu yang semakin tidak dapat dipungkiri

Ketika rasa itu terus datang mengawang
Namun asa seolah tidak mampu untuk membuktikan
Pengharapan yang tadinya terus tumbuh akan layu perlahan, membusuk dan lama-lama akan menghilang menuju ketiadaan

Ketika lidah itu menjilat ludahnya sendiri
Bersama keengganan yang selalu datang membayangi
Beserta arogansi yang tumbuh dan mengakar dalam hati

Ketika ekspektasi dan realita sudah tidak lagi sejalan


P.S: UN sih digalauin bukannya dipelajarin. HAHAHA

Thursday, March 20, 2014

Redo (Mungkin #1)

Mungkin bukan cuma gue yang merasakan hal ini.

Yang entah sejak kapan mulai tumbuh dan mengakar dalam hati, menimbulkan rasa iri yang semoga saja tidak berubah menjadi dengki.

Tapi, slowly but sure, semuanya memang sudah mulai bergerak sendiri-sendiri. Pergi kesana-kemari, berekspansi menjadi sosok yang sesuai dengan keinginan hati. Mengenal bagian-bagian hidup yang sebelumnya begitu sulit untuk dimengerti. Sementara gue masih diam disini, nge-stuck. Menyadari di sekeliling tahu-tahu sudah ada dinding besar yang kokoh membatasi. Membentengi diri dengan sesuatu yang tak terdefinisi.

It's funny how time have changed people, gradually drifting them apart.

Mungkin memang salah gue yang dari awal tidak tahu bagaimana caranya memposisikan diri, membatasi eksistensi hanya karena sekedar gengsi.
Mungkin memang salah gue yang dari awal tidak mau mengerti.

Mulai hari ini, mungkin segalanya memang sudah harus diperbaiki. Berharap keadaan yang sama tidak akan terulang kembali. Mungkin memang gue yang harusnya berbenah diri.

Sebelum benar-benar terlambat dan menyesal untuk yang kesekian kali, just re-do everything and start it from the beginning...

Saturday, February 15, 2014

Saturday, January 11, 2014

Takut

"The brave man is not he who doesn't feel afraid, but he who conquers that fear."

Belakangan ini, entah kenapa kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepala gue.

Takut. Setiap manusia pasti ngerasain yang namanya rasa takut. Takut sama gurunya yang galak gara-gara ga ngerjain tugas, takut dimarahin orangtuanya karena korupsi duit belanja, takut dikejar tramtib kalo lagi patroli, takut ditolak gebetannya dan takut-takut yang masih banyak lagi.

Jujur, gue juga adalah seorang penakut.
Dan ketakutan gue yang paling besar adalah pandangan orang terhadap gue. Bisa dibilang; gue sangat takut kelihatan jelek di depan orang lain.

Entah sejak kapan rasa takut ini muncul dan berkembang, membuat gue jadi pribadi yang benar-benar self-conscious sama hal-hal di sekitar. Apalagi sama orang yang baru kenal dan orang yang emang not that easy to be close with. Sampe pernah salah seorang temen gue bilang kalo gue itu apatis. Padahal mah karena gue terlalu 'peduli' sama diri sendiri makanya gue ga sempat buat memperdulikan orang lain.

Ketakutan gue yang lainnya adalah dalam mengambil keputusan. Kalau melakukan ini, ke depannya bakal gimana. Kalau melakukan itu, apakah gue akan mendapat hasil yang sama seperti gue melakukan ini. Entah sejak kapan, gue selalu memikirkan konsekuensi apa yang bakal gue dapat, dengan tujuan agar gue ga menyesal untuk ke depannya.

Dan karena sudah terbiasa dengan rasa takut itu juga gue jadi sering membatasi diri. Gue gabisa berada jauh-jauh dari comfort zone. Gue gabisa berada di zona ga aman yang kerap kali membuat gue merasa asing dan insecure. Seringkali, apa yang sebenernya pengen gue lakukan malah ga bisa gue sampaikan. Ujung-ujungnya gue pun malah menyesal karena ga mampu gue mewujudkan hal itu.

Iya, emang pathetic banget. Gue tahu semua rasa takut ini bukanlah hal baik. Harusnya gue berubah dan melawan semua ketakutan itu, bukannya malah semakin terbuai di bawah pengaruhnya.

...Harusnya kan, ya?

Tapi gimanapun juga, ternyata memang ga semua hal tentang rasa takut itu jelek juga.

Waktu kecil, kita mungkin masih ingat bahwa orang dewasa sering memberi nasehat tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Kalau bangun kesiangan jodohnya bakal seret lah, kalau pulang kesorean diculik sundel bolong lah, kalau potong kuku malem-malem pamali lah. Kalau ini, kalau itu, dan kalau-kalau yang lain. Sadar atau tidak, hal itu memunculkan rasa takut di dalam diri kita. Pengetahuan kita yang terbatas sebagai anak-anak yang memang membuat kita merasa asing dengan semua hal yang belum kita ketahui sebelumnya, semakin memburuk oleh rasa takut yang ditimbulkan tadi. Menyebabkan kita, seperti kata gue tadi, ingin terus berada di zona aman yang itu-itu saja.

Namun, semakin kita tumbuh, semakin kita belajar untuk mengerti dan memahami. Ketakutan yang ada sewaktu kita kecil itu mau tidak mau harus kita hadapi. Sesuatu yang tadinya asing dan menurut kita menyeramkan ternyata ga seseram yang sebelumnya kita duga. Bagaimana keraguan yang tadinya mengumpul di dalam hati itu, sedikit demi sedikit memudar dan membuat kita menjadi lebih berani untuk melangkah ke depan.

Dan jujur aja, walaupun banyak dapet ruginya dan ga enaknya, dengan menjadi seorang penakut inilah gue bisa belajar. Untuk menghadapi rasa takut di dalam hati. Untuk mengalahkan diri sendiri agar menjadi seorang pemberani.

Pelan-pelan, gue paham bahwa itu semua adalah salah satu proses menuju pendewasaan.

" I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it."
Nelson Mandela