"Biarin aja ceritanya itu terus, daripada nggak punya cerita sama sekali."
sebelum akhirnya terputus secara tiba-tiba
(karena gangguan sinyal, tentu saja).
"Biarin aja ceritanya itu terus, daripada nggak punya cerita sama sekali."
"Sedang apa kalian di sini?" tanya pemuda itu. "Mencuri ya?"
Dula menatap Azmov, keringatnya mengucur deras.
"Ayo mengaku saja. Kalian habis mencuri kan?"
Azmov tidak menyahut, hanya berdiri memeluk barang-barang hasil jarahannya lekat di dada.
"Jawab!" hardik si prajurit. "Atau kusandera kalian dan kupanggang di atas api dan kujadikan sate untuk makan malam."
Dula melempar barang-barang bawaannya ke arah pemuda itu dan terbirit-birit keluar dari sana. Azmov masih terpaku di tempatnya berdiri.
"Tidak mau menyusul temanmu?"
Azmov menggeleng.
"Siapa namamu?
"Azmov."
"Dimana orangtuamu?"
Azmov tidak menjawab.
"Ayahmu ada?"
"Dia ikut perang."
"Teman atau musuh?"
"Aku tidak tahu."
"Tinggalkan barang-barang itu."
Azmov bergeming. Pemuda itu menatapnya dengan mata merah kurang tidur. "Kau tidak dengar apa kataku barusan?"
"Siapa namamu?" tanya Azmov.
"Eregaro."
Mereka tidak berjabat tangan, hanya berdiri kikuk menatap satu sama lain.
"Tampangmu seperti anak kuliahan."
Pemuda itu, yang bernama Eregaro, menepuk dada dengan bangga. "Semester empat di Universitas Akomoya. Sebelum kampusku di bom jadi sampah."
"Kau pintar?"
"Yang terbaik di kelas."
"Benarkah?"
"Ya. Kau tidak takut senjata?"
"Aku tidak takut mati."
"Tinggalkan barang-barangmu di sini."
Azmov menurut.
"Sekarang pergilah."
Dengan tangan kosong, Azmov membalikkan badan. Baru mengambil beberapa langkah, bocah itu membalikkan tubuhnya lagi.
"Kau tahu markas El Sadik?"
"Apa urusanmu dengan El Sadik?"
"Aku hanya ingin titip pesan untuk Ayah."
"Siapa namanya?"
"Ledon."
"Pesan apa yang ingin kau sampaikan?"
Azmov berpikir sesaat, lalu―
"Sampaikan padanya aku sudah bisa menjaga Ibu dan Zalem. Dia tidak perlu kembali."
Pemuda itu tercenung. Azmov melanjutkan: "Sampaikan juga bahwa begitu perang usai aku akan cari kerja."
"Dan bilang sama dia," kata Azmov. "Dia boleh mati kalau memang saatnya. Tidak apa. Kami mengerti."
"Berapa usiamu?" tanya Eregaro dengan mata terpicing.
"Sepuluh tahun."
"Kau bilang kau tidak takut mati?"
"Tidak."
"Benar?"
Azmov mengangguk. Pemuda itu tertawa keras sekali hingga suaranya menggema di sekitar mereka. Kemudian tawa itu berubah jadi tangis sesenggukan. Azmov diam saja, takjub melihat seorang laki-laki dewasa terisak seperti anak perempuan. Tak lama, pemuda itu menghapus airmatanya sendiri. Hidungnya merah.
"Keluar." kata Eregaro. bergerak mendorong Azmov kearah pintu.
Azmov berlari keluar. Udara dingin menyambutnya begitu ia melewati pintu utama. Dula segera menghampirinya. Sedari tadi ia menunggu tidak jauh dari sana. Mereka mengendap-endap melintasi jalan-jalan sepi, melewati bangkai kendaraan dan bangunan, sebelum tiba di ruang bawah tanah.
Mungkin bukan cuma gue yang merasakan hal ini.
Yang entah sejak kapan mulai tumbuh dan mengakar dalam hati, menimbulkan rasa iri yang semoga saja tidak berubah menjadi dengki.
Tapi, slowly but sure, semuanya memang sudah mulai bergerak sendiri-sendiri. Pergi kesana-kemari, berekspansi menjadi sosok yang sesuai dengan keinginan hati. Mengenal bagian-bagian hidup yang sebelumnya begitu sulit untuk dimengerti. Sementara gue masih diam disini, nge-stuck. Menyadari di sekeliling tahu-tahu sudah ada dinding besar yang kokoh membatasi. Membentengi diri dengan sesuatu yang tak terdefinisi.
It's funny how time have changed people, gradually drifting them apart.
Mungkin memang salah gue yang dari awal tidak tahu bagaimana caranya memposisikan diri, membatasi eksistensi hanya karena sekedar gengsi.
Mungkin memang salah gue yang dari awal tidak mau mengerti.
Mulai hari ini, mungkin segalanya memang sudah harus diperbaiki. Berharap keadaan yang sama tidak akan terulang kembali. Mungkin memang gue yang harusnya berbenah diri.
Sebelum benar-benar terlambat dan menyesal untuk yang kesekian kali, just re-do everything and start it from the beginning...